Saturday, December 17, 2016

Suuzan

Suuzan
Oleh: Alimaturahim


Pada suatu hari, di sebuah desa kecil hiduplah sebuah keluarga tikus yang rukun. Mereka terdiri dari Pak Tikus, Bu Tikus, dan bayi mereka Cici.

Pak Tikus sangat santun dan suka membantu siapapun. Semua warga desa menyukainya. Ia juga rajin beribadah kepada Tuhan.

Bu Tikus juga santun dan ramah, tetapi sayangnya ia sering berprasangka buruk, atau “suuzan”, kepada orang-orang.

Bu Tikus sangat menyayangi keluarganya, terutama Cici. Ia rajin membawanya ke Posyandu guna memastikan kesehatannya.

Namun sejak bulan lalu Bu Tikus dan Cici absen ke Posyandu. Pasalnya, bidan yang bertugas di sana sudah diganti dengan bidan baru bernama Bu Meong.

“Kenapa Ibu berhenti membawa Cici ke Posyandu?” tanya Pak Tikus.

Bu Tikus melotot. “Bapak tidak tahu ya, bidannya sekarang Bu Meong. Apakah Bapak mau kucing itu melahap Cici?”

“Khayalan Ibu terlalu buruk,” ujar Pak Tikus. “Bidan Meong itu bidan yang baik dan taat beribadah. Lantas, pernahkah Ibu mendengar bahwa beliau memakan pasiennya?”

“Tetapi dia itu tetap saja kucing. Apakah Bapak menunggu sampai ia lapar dan menyantap Cici?” hardik Bu Tikus.

“Kalau Ibu dan Cici absen ke Posyandu sampai berbulan-bulan, justru Cici bisa terserang bermacam-macam penyakit berbahaya.” balas Pak Tikus.

Tetapi Bu Tikus bergeming dan tetap suuzan pada Bidan Meong.

Tak lama, tibalah musim kemarau. Seperti biasa, sumber-sumber air di desa itu mengering. Terjadilah krisis air bersih. Ini memicu penyebaran wabah berbagai penyakit, utamanya diare yang terbanyak menyerang bayi dan balita dan kerap memakan korban jiwa.

Pak Tikus mulai cemas. Ia kembali membujuk Bu Tikus untuk membawa Cici ke Posyandu. Namun Bu Tikus tetap menolak gara-gara suuzan pada Bidan Meong.

Akhirnya, apa yang dikhawatirkan Pak Tikus terjadi. Cici tiba-tiba muntah-muntah dan berak-berak dan terus-menerus menangis. Ia enggan makan atau minum apapun. Tubuhnya mengurus dan lemas.

Tak diragukan lagi. Itu pasti diare!

Dengan panik Pak Tikus memaksa Bu Tikus untuk membawa Cici ke tempat praktek Bidan Meong. Itu adalah satu-satunya tempat pengobatan di desa mereka. Namun Bu Tikus tetap gigih menolak. Padahal kondisi Cici semakin mengkhawatirkan.

Akhirnya kemarahan Pak Tikus meledak. Bu Tikus membalas dengan kemarahan juga. Keduanya pun bertengkar.

Tiba-tiba pintu rumah mereka diketok-ketok seseorang. Pak Tikus dan Bu Tikus berhenti bertengkar. Saat pintu dibuka, nampak Paman Curut berdiri sambil tersenyum berwibawa dan memelintir kumisnya. Ia adalah pamong sekaligus sesepuh masyarakat tikus yang sangat dihormati di desa itu.

Pak Tikus dan Bu Tikus langsung mencium tangan Paman Curut.

Paman Curut sedang mendampingi Tim Kesehatan Desa yang melakukan pemeriksaan dan pengobatan dari rumah ke rumah. Mereka tadi sudah sampai di tetangga sebelah dan sebentar lagi tiba di rumah Pak Tikus. Namun karena mendengar keributan, Paman Curut mendahului ke sini.

Pak Tikus dan Bu Tikus meminta maaf karena telah merepotkan Paman Curut. Iapun memaafkan mereka. Namun, saat mengetahui bahwa mereka bertengkar gara-gara suuzan pada Bidan Meong, Paman Curut gusar.

“Bu Meong itu bidan teladan di kabupaten ini.” kata Paman Curut. “Kalian seharusnya bersyukur karena beliau bersedia bertugas di sini. Banyak desa-desa lain yang membujuknya, tetapi beliau berkeras untuk bertugas di sini karena rasa sayangnya kepada kita.”

Bu Tikus menangis. “Saya sungguh menyesal, Paman, dan mau minta maaf kepada beliau.”

“Ibu tidak bersalah,” tiba-tiba Bidan Meong muncul didampingi para tikus asistennya. Ternyata Bidan Meong adalah Ketua Tim Kesehatan Desa tersebut. Bu Tikus kaget, malu, dan menyesal.

Bidan Meong langsung memeriksa Cici dan memberinya obat. Cici pun tertidur pulas. Lusanya, ia telah sehat kembali. Pak Tikus dan Bu Tikus sangat bahagia.

Sejak itu Bu Tikus tak pernah lagi suuzan yang nyaris menyebabkan kematian Cici-nya. Apalagi agama melarang perbuatan suuzan.

No comments:

Post a Comment